Sebenernya, mimpi yang gw alami itu belum tentu terjadi. Ada yang memang benar-benar terjadi di kehidupan nyata ada juga yang hanya jadi bunga tidur saja. Hanya Allah yang berkuasa untuk menjadikan mimpi gw nyata. Tapi biasanya, mimpi gw yang benar-benar terjadi di kehidupan nyata itu memiliki satu kesamaan. Mimpi-mimpi tersebut bisa gw inget jelas saat gw bangun tidur yang kemudian membuat gw bertanya, “apa maksud dari mimpi ini?”. Sebenernya, mimpi yang bisa benar-benar terjadi itu tidak hanya dialami oleh gw saja. Banyak juga orang yang mengalami hal yang sama seperti gw. Gw sering search di google terkait hal ini. Jadi pemirsah, sebenernya, dalam Islam, hal seperti ini juga dibahas.
Mimpi dalam Islam mempunyai kedudukan tersendiri. Gw mengutip dari beberapa sumber, yang pertama dari Eramuslim.com. Isinya kira-kira begindang... eh begini...
Dalam psikologi modern, ada beberapa psikolog yang cukup fokus untuk mengkaji mimpi, salah satunya Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud, stimulus dan sumber dari kemunculan mimpi ada 4, yaitu: External sensory stimuli, internal (subjective) sensory excitations, internal organic somatic stimuli, dan psychical source of stimulation.
Jika disederhanakan, stimulus dan sumber tersebut bisa muncul dari dalam diri individu seperti dorongan tertentu, harapan dan keinginan-keinginan atau yang bersifat eksternal yang biasanya berasal dari pengalaman objektif atau bisa juga karena rangsangan organ badan maupun kondisi fisik. Namun demikian, tak dapat dipungkiri manusia bahwa mimpi adalah sebuah fenomena yang terkadang merupakan sebuah penjelasan akan terjadinya suatu hal di masa mendatang (futuristik). Hal ini jauh dari tangkapan logika manusia yang kemudian dianalisa oleh berbagai pakar, khususnya ulama atau para pengkaji mimpi dengan basis agama.
Mengapa demikian? Pertama, mimpi yang bersifat ghaib masih intens sebelum kiamat terjadi. Kedua, hal ini merupakan sebuah masalah karena ruang ini belum bisa difasilitasi oleh studi psikologi modern seperti psikodinamika atau behaviorisme. Hal-hal yang berbau ghaib, sulit diendus indera, jauh dari bayangan logika, pada hakikatnya akan dijauhkan dari psikologi. Ini tak lain karena hal yang berbau ghaib memang tidak dapat dicerna oleh panca indera manusia yang menjadi pegangan ilmu modern. Alhasil, jarang para psikolog modern berkutat dalam arus yang menantang ini, menjabarkan, menganalisa, hingga sampai terkonversi menjadi hipotesa pasti. Pada akhirnya, hal yang vital ini terbuang begitu saja atau paling tidak, dipendam di dalam alam bawah sadar manusia tanpa kita pernah memikirkannya. “Halaaah... cuma mimpi ini”. Mungkin begitulah sebagian kita bergumam.
Pertanyaannya, betulkah hal-hal seperti itu tak perlu dijelaskan? Atau... apakah kalau mau disebut ilmiah, hal ini sebagai cerita yang tidak bisa dikaitkan dengan nalar?. Tapi... bukankah ilmu diturunkan untuk menjawab persoalan apapun?. Lantas, apakah hal semacam ini bisa dijadikan studi, kajian ilmiah, bahkan objek penelitian?. Mungkin diantara anda yang terbiasa berfikir secara rasional atau mengandalkan akal saja akan bersikap negatif. Tapi bagaimana dengan Islam? Ini yang menarik untuk dibahas karena Islam telah memberikan jawaban atas kejadian ini, beberapa ratus tahun yang lalu.
Menurut ulama-ulama Islam kontemporer, Al-Qur’an menyebut mimpi dalam dua tema, yaitu ru’ya dan adghatsu ahlam (mimpi yang sulit ditakwil). Terkadang ru’ya merupakan mimpi yang bisa menyingkap misteri alam ghaib atau kejadian yang bersifat futuristik (terkait masa depan). Ru’ya juga muncul dalam manifestasi berupa perintah yang harus diemban oleh orang yang bermimpi tersebut. Sedangkan adghatsu ahlam merupakan mimpi yang sulit ditafsirkan.
Dalam hadits Abu Hurairah yang dihimpun oleh Muslim disebutkan pula tiga jenis ru’ya, yaitu: (1) mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah, (2) mimpi yang menyusahkan yang datang dari syaithan dan (3) mimpi yang disebabkan oleh pikiran manusia atau bersumber dari keinginannya. Ru’ya yang ketiga masih dianggap standar karena merupakan hasil dari alam bawah sadar manusia itu sendiri dan jarang dikaji ulama karena bersifat keduniawian semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar