Senin, 21 November 2016

The 'Kecret' Love Story (Part 225)

Selama ini, selama gw minta diberi petunjuk, gw ga pernah bermimpi yang baik tentang FZ. Bukan FZ ga baik. Maksudnya, ga pernah ada di mimpi gw bahwa dia itu nantinya bakalan sama gw. Yang muncul di mimpi gw justru orang lain. And you know who? It is Mr. J. Entah kenapa, gw sering mimpi keluarga gw ada di rumah itu. Pernah gw mimpi adek gw, si Maryam, nanya ke gw siapa bapak-bapak yang ada di rumah itu dan gw jawab kalo itu pak HS, ayahnya anak-anak. Pernah juga gw mimpi abi sama ummi gw dateng ke rumah itu. Dan... masih banyak lagi. Kadang gw berfikir maksud dari mimpi itu apa, tapi kemudian, gw berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanyalah mimpi biasa.
Kasus ini hampir mirip dengan kasus si Z. Tahun lalu, saat Iedul Adha, gw dikejutkan oleh fakta bahwa si Z masih punya pacar. Gw tau dari instagramnya, dikasih tau sama temen gw. Dan tahun ini.... disaat yang hampir sama, masih dalam suasana lebaran Iedul Fitri, gw kembali menghadapi hal yang sama. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia buat semua umat Islam. Tapi... hari ini... gw mengetahui fakta bahwa FZ punya pacar, dari sosial media juga. Bedanya, ini ask.fm. Aaaaaah.... kenapa ini harus terjadi lagi sama gueeee?. Kenapaaaa?. Apa salah gueeee?. Gw cuma bisa teriak dalam hati.
Malam itu, meski capek abis renang, gw ga bisa tidur. Gw cuma diem dan ga tau mau ngapain. Gw pengeen banget nangis, setidaknya buat meluapkan rasa kecewa dan sedih supaya lebih plong, tapi ga bisa. Gw juga ga mungkin ceritain ini ke keluarga gw. Waktu kasusnya si Z, gw udah pernah cerita ke ummi. Gw cerita kalo ternyata dia punya pacar. Kali ini... gw ga mungkin cerita lagi ke orang tua gw. Selain itu, posisinya kan gw lagi liburan di rumah nenek gw yah, jadi gw ga bisa curhat ke temen gw. Gw belum sanggup nyeritainnya. Akhirnya, gw cuma bisa meluapkan emosi di twitter.
“Pada akhirnya... aku harus mengucapkan selamat tinggal. Bukan karena aku ingin, tapi kau yang membuatnya seperti itu. Terimakasih pernah membuatku tersenyum, tertawa, dan bahagia meski hanya sebentar saja. Semoga kamu bahagia. Aku bisa terima kamu belum mapan, mungkin tidak lebih pintar dari aku, dan tidak memiliki banyak keahlian sepertiku, seperti yang kamu bilang. Aku juga bisa terima jika ilmu agamamu belum cukup untuk menjadi imamku, karen aku percaya kamu mau berusaha untuk itu.”
“Tapi ternyata aku salah. Kamu sama saja seperti yang dahulu-dahulu, meninggalkanku untuk orang lain yang menurutmu lebih ‘reachable’. Aku tidak pernah merasa cantik, sungguh. Oleh karenanya, aku tidak pernah mau kamu bilang cantik. Tapi jika kamu memang menganggapku cantik, silahkan saja, itu hakmu, Kamu bilang aku pintar meski aku merasa aku tidak begitu. Jika kamu jatuh hati padaku karena kecantikan dan kepintaran, bukankah tidak mungkin jika kamu akan meninggalkanku karena itu juga?. Karena... ada orang lain yang lebih cantik dan lebih pintar dariku.”
“Seperti yang dahulu-dahulu, kamu juga menganggapku jauh lebih baik darimu, dalam beberapa hal. Oleh karenanya, lebih baik untuk meninggalkanku. Meninggalkanku untuk... seseorang yang menurutmu lebih setara denganmu. Tapi tahukah? Aku tak peduli dengan kesetaraan itu. Kamu sama saja seperti yang dahulu, memberikan harapan dan kemudian pergi tanpa mau memperjuangkan. Tahukah kamu? Aku tak pernah merasa diriku hebat seperti yang kamu bilang. Karenanya... aku tak peduli apakah kamu tidak lebih pintar dariku, tidak lebih religius dariku, dan tidak memiliki kemampuan bermusik sepertiku.”
“Aku bisa menerima kekuranganmu, kecuali satu... ketidaksetiaan. Tahukah kamu? Aku sudah mempersiapkan kado untuk ulang tahunmu yang akan tiba sebentar lagi. Kado itu mungkin tidak mahal, bahkan tidak berharga. Hanya sepucuk surat berisikan ucapan selamat ulang tahun dan sebuah permainan piano. Maaf, aku tidak bisa memainkan sebuah lagu ulang tahun untukmu karena aku tak bisa menemukan partiturnya. Sudah berusaha kucari tapi tak kutemukan. Aku hanya memilih lagu terbaik yang pernah kumainkan, maaf. Sudah kupersiapkan kado untuk ulang tahunmu. Mungkin itu akan menjadi kado ulang tahun pertama dan terakhir dariku untukmu.”
“Aku memang pernah bilang bahwa aku akan ikhlas melepasmu jika kamu menemukan orang yang lebih cocok menurutmu, maka dari itu, aku melepasmu. Karena... saat ini kamu sudah menemukannya, seseorang yang menurutmu lebih cocok untukmu, lebih ‘reachable’. Apakah aku rela? Mungkin saat ini belum. Tapi aku sudah janji padamu kan? berjanji untuk mengikhlaskanmu jika kamu menemukan orang lain yang kamu suka. Maka dari itu... aku akan menepatinya. Aku juga sudah berjanji, bukan pada dirimu, tapi pada diriku sendiri, jikapun pada akhirnya harus ada yang tersakiti karena perpisahan, kuharap itu bukan kamu. Memang rasanya sakit, sakit sekali. Tapi ini tidak sesakit jika aku yang harus melukai hatimu.”
“Maaf, aku kira kamu berbeda dengan yang lain. Aku kira kamu mau memperjuangkanku meski itu tak mudah. Tapi kamu sama saja, benar-benar sama seperti yang dahulu, meninggalkanku untuk yang lain semudah itu. Kamu tak salah, hanya aku yang mungkin terlalu berharap untuk diperjuangkan. Mungkin aku terlalu ‘unreachable’. Tapi tahukah? Aku tak butuh kamu untuk bisa sehebat aku, jika kamu berpikir aku lebih hebat darimu. Aku hanya butuh orang yang mau memperjuangkanku, yang akan berusaha untuk membuatku bahagia dengan caranya sendiri.”
“Aku harap kamu bahagia dan aku harap... aku bisa segera mengikhlaskanmu. Memang berat, tapi aku tidak hanya sekali menghadapi hal semacam ini. Ah ya... kamu bilang kamu mau mencoba masakan yang aku buat kan?. Aku sudah merencanakannya, membuat sesuatu untukmu jika nanti kita bertemu. Aku memang tidak pintar memasak, mungkin hanya bisa. Tapi untukmu, aku akan berusaha membuat masakan yang paling enak yang aku bisa. Tapi itu tidak akan terjadi bukan? Itu hanya rencanaku saja. Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku untuk memasak sesuatu untukmu. Karena mungkin, dia lebih pintar memasak. Iya, masakannya bisa saja lebih enak dari masakanku.”
“Aku memang lebih dewasa dari kamu, dari umur dan juga kematangan diri. Dulu, aku ragu, apakah aku bisa menerimamu yang tidak sekuat aku?. Kemudian aku sadar. Aku seharusnya tidak semudah itu meninggalkanmu karena kamu tak sedewasa aku. Seharusnya aku bisa menjadi orang yang mampu mendampingimu untuk melalui proses pendewasaan dan pematangan dirimu. Saat itu aku berfikir demikian. Tapi saat ini, aku sudah tahu, aku bukanlah orang yang tepat untuk mendampingimu karena itu akan menyulitkanmu.”
“Karena jika dengannya, kau tak harus segera mendewasa dan mematangkan diri saat ini karena kamu masih punya banyak waktu. Dia akan memberimu lebih banyak waktu untuk berproses, tidak seperti aku yang memang sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Ya, dia bisa memberimu waktu satu, dua, atau tiga tahun lagi. Sedangkan aku? Aku hanya bisa memberimu waktu beberapa bulan saja. Dalam do’a-do’a sepertiga malamku yang kemarin-kemarin, aku berharap jika kamu memang untukku, semuanya dimudahkan. Dan di sepertiga malam terakhir ini... aku hanya bisa memohon ampun, selain itu... tidak ada lagi. Hanya itu.”

“Aku akan mencoba untuk hidup seperti semula, seperti saat aku belum bertemu denganmu. I’ll remember those times when I hadn’t met you.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar