Selama ini, selama gw minta diberi
petunjuk, gw ga pernah bermimpi yang baik tentang FZ. Bukan FZ ga baik.
Maksudnya, ga pernah ada di mimpi gw bahwa dia itu nantinya bakalan sama gw.
Yang muncul di mimpi gw justru orang lain. And you know who? It is Mr. J. Entah
kenapa, gw sering mimpi keluarga gw ada di rumah itu. Pernah gw mimpi adek gw,
si Maryam, nanya ke gw siapa bapak-bapak yang ada di rumah itu dan gw jawab
kalo itu pak HS, ayahnya anak-anak. Pernah juga gw mimpi abi sama ummi gw
dateng ke rumah itu. Dan... masih banyak lagi. Kadang gw berfikir maksud dari
mimpi itu apa, tapi kemudian, gw berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanyalah
mimpi biasa.
Kasus ini hampir mirip dengan kasus si Z.
Tahun lalu, saat Iedul Adha, gw dikejutkan oleh fakta bahwa si Z masih punya
pacar. Gw tau dari instagramnya, dikasih tau sama temen gw. Dan tahun ini....
disaat yang hampir sama, masih dalam suasana lebaran Iedul Fitri, gw kembali
menghadapi hal yang sama. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia buat semua
umat Islam. Tapi... hari ini... gw mengetahui fakta bahwa FZ punya pacar, dari
sosial media juga. Bedanya, ini ask.fm. Aaaaaah.... kenapa ini harus terjadi
lagi sama gueeee?. Kenapaaaa?. Apa salah gueeee?. Gw cuma bisa teriak dalam
hati.
Malam itu, meski capek abis renang, gw ga
bisa tidur. Gw cuma diem dan ga tau mau ngapain. Gw pengeen banget nangis,
setidaknya buat meluapkan rasa kecewa dan sedih supaya lebih plong, tapi ga
bisa. Gw juga ga mungkin ceritain ini ke keluarga gw. Waktu kasusnya si Z, gw
udah pernah cerita ke ummi. Gw cerita kalo ternyata dia punya pacar. Kali
ini... gw ga mungkin cerita lagi ke orang tua gw. Selain itu, posisinya kan gw
lagi liburan di rumah nenek gw yah, jadi gw ga bisa curhat ke temen gw. Gw
belum sanggup nyeritainnya. Akhirnya, gw cuma bisa meluapkan emosi di twitter.
“Pada akhirnya... aku harus mengucapkan
selamat tinggal. Bukan karena aku ingin, tapi kau yang membuatnya seperti itu.
Terimakasih pernah membuatku tersenyum, tertawa, dan bahagia meski hanya
sebentar saja. Semoga kamu bahagia. Aku bisa terima kamu belum mapan, mungkin
tidak lebih pintar dari aku, dan tidak memiliki banyak keahlian sepertiku,
seperti yang kamu bilang. Aku juga bisa terima jika ilmu agamamu belum cukup
untuk menjadi imamku, karen aku percaya kamu mau berusaha untuk itu.”
“Tapi ternyata aku salah. Kamu sama saja
seperti yang dahulu-dahulu, meninggalkanku untuk orang lain yang menurutmu lebih
‘reachable’. Aku tidak pernah merasa cantik, sungguh. Oleh karenanya, aku tidak
pernah mau kamu bilang cantik. Tapi jika kamu memang menganggapku cantik,
silahkan saja, itu hakmu, Kamu bilang aku pintar meski aku merasa aku tidak
begitu. Jika kamu jatuh hati padaku karena kecantikan dan kepintaran, bukankah
tidak mungkin jika kamu akan meninggalkanku karena itu juga?. Karena... ada
orang lain yang lebih cantik dan lebih pintar dariku.”
“Seperti yang dahulu-dahulu, kamu juga
menganggapku jauh lebih baik darimu, dalam beberapa hal. Oleh karenanya, lebih
baik untuk meninggalkanku. Meninggalkanku untuk... seseorang yang menurutmu
lebih setara denganmu. Tapi tahukah? Aku tak peduli dengan kesetaraan itu. Kamu
sama saja seperti yang dahulu, memberikan harapan dan kemudian pergi tanpa mau
memperjuangkan. Tahukah kamu? Aku tak pernah merasa diriku hebat seperti yang
kamu bilang. Karenanya... aku tak peduli apakah kamu tidak lebih pintar dariku,
tidak lebih religius dariku, dan tidak memiliki kemampuan bermusik sepertiku.”
“Aku bisa menerima kekuranganmu, kecuali
satu... ketidaksetiaan. Tahukah kamu? Aku sudah mempersiapkan kado untuk ulang
tahunmu yang akan tiba sebentar lagi. Kado itu mungkin tidak mahal, bahkan
tidak berharga. Hanya sepucuk surat berisikan ucapan selamat ulang tahun dan
sebuah permainan piano. Maaf, aku tidak bisa memainkan sebuah lagu ulang tahun
untukmu karena aku tak bisa menemukan partiturnya. Sudah berusaha kucari tapi
tak kutemukan. Aku hanya memilih lagu terbaik yang pernah kumainkan, maaf.
Sudah kupersiapkan kado untuk ulang tahunmu. Mungkin itu akan menjadi kado
ulang tahun pertama dan terakhir dariku untukmu.”
“Aku memang pernah bilang bahwa aku akan
ikhlas melepasmu jika kamu menemukan orang yang lebih cocok menurutmu, maka
dari itu, aku melepasmu. Karena... saat ini kamu sudah menemukannya, seseorang
yang menurutmu lebih cocok untukmu, lebih ‘reachable’. Apakah aku rela? Mungkin
saat ini belum. Tapi aku sudah janji padamu kan? berjanji untuk mengikhlaskanmu
jika kamu menemukan orang lain yang kamu suka. Maka dari itu... aku akan
menepatinya. Aku juga sudah berjanji, bukan pada dirimu, tapi pada diriku
sendiri, jikapun pada akhirnya harus ada yang tersakiti karena perpisahan,
kuharap itu bukan kamu. Memang rasanya sakit, sakit sekali. Tapi ini tidak
sesakit jika aku yang harus melukai hatimu.”
“Maaf, aku kira kamu berbeda dengan yang
lain. Aku kira kamu mau memperjuangkanku meski itu tak mudah. Tapi kamu sama
saja, benar-benar sama seperti yang dahulu, meninggalkanku untuk yang lain
semudah itu. Kamu tak salah, hanya aku yang mungkin terlalu berharap untuk
diperjuangkan. Mungkin aku terlalu ‘unreachable’. Tapi tahukah? Aku tak butuh
kamu untuk bisa sehebat aku, jika kamu berpikir aku lebih hebat darimu. Aku
hanya butuh orang yang mau memperjuangkanku, yang akan berusaha untuk membuatku
bahagia dengan caranya sendiri.”
“Aku harap kamu bahagia dan aku harap...
aku bisa segera mengikhlaskanmu. Memang berat, tapi aku tidak hanya sekali
menghadapi hal semacam ini. Ah ya... kamu bilang kamu mau mencoba masakan yang
aku buat kan?. Aku sudah merencanakannya, membuat sesuatu untukmu jika nanti
kita bertemu. Aku memang tidak pintar memasak, mungkin hanya bisa. Tapi
untukmu, aku akan berusaha membuat masakan yang paling enak yang aku bisa. Tapi
itu tidak akan terjadi bukan? Itu hanya rencanaku saja. Maaf, aku tidak bisa
menepati janjiku untuk memasak sesuatu untukmu. Karena mungkin, dia lebih
pintar memasak. Iya, masakannya bisa saja lebih enak dari masakanku.”
“Aku memang lebih dewasa dari kamu, dari
umur dan juga kematangan diri. Dulu, aku ragu, apakah aku bisa menerimamu yang
tidak sekuat aku?. Kemudian aku sadar. Aku seharusnya tidak semudah itu
meninggalkanmu karena kamu tak sedewasa aku. Seharusnya aku bisa menjadi orang
yang mampu mendampingimu untuk melalui proses pendewasaan dan pematangan
dirimu. Saat itu aku berfikir demikian. Tapi saat ini, aku sudah tahu, aku
bukanlah orang yang tepat untuk mendampingimu karena itu akan menyulitkanmu.”
“Karena jika dengannya, kau tak harus
segera mendewasa dan mematangkan diri saat ini karena kamu masih punya banyak
waktu. Dia akan memberimu lebih banyak waktu untuk berproses, tidak seperti aku
yang memang sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Ya, dia bisa memberimu waktu
satu, dua, atau tiga tahun lagi. Sedangkan aku? Aku hanya bisa memberimu waktu
beberapa bulan saja. Dalam do’a-do’a sepertiga malamku yang kemarin-kemarin,
aku berharap jika kamu memang untukku, semuanya dimudahkan. Dan di sepertiga
malam terakhir ini... aku hanya bisa memohon ampun, selain itu... tidak ada
lagi. Hanya itu.”
“Aku akan mencoba untuk hidup seperti
semula, seperti saat aku belum bertemu denganmu. I’ll remember those times when
I hadn’t met you.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar